Jejak Pencarian Tuhan


Tak ada sehelai daun pun yang jatuh tanpa Izin Allah SWT.
 Yani menatap lagi ponselnya. Sudah tiga jam ia berdiri di depan sebuah bangunan merah di belakangnya. Ini hari minggu dan Yani tahu bahwa Adit pastinya masih melakukan ibadah di bangunan belakangnya. Yani menghembuskan napas kesal. Ia menatap banguanan merah itu lagi, ragu ia ingin masuk atau hanya berdiri di sini seperti orang bodoh.
Gereja Merah. Sudah beberapa kali Yani memaksa Adit agar memperbolehkannya masuk ke dalam dan mengikuti serangkaian Upacara ibadah di dalam sana. Akan tetapi, Adit selalu menolaknya dengan alasan yang sama.
“Kita memang pacaran. Tapi, kita beda keyakinan. Tempat ibadahmu bukan di sini, tapi di Masjid,” tegas Adit yang entah sudah keberapa kalinya.
Yani menggeleng dengan tegas. Ia membenci Agamanya, Tuhannya, dan semua hal yang berkaitan dengan Islam. Ia sudah lama tak pernah melaksanakan ibadah. Meninggalkan shalat, tidak membaca al quran, bahkan Yani pun sudah lama tak berpuasa.
“Aku mau pindah Agama saja, ya?” bujuk Yani.
Yani berpikir agama yang Adit anut lebih nyata. Tidak pernah mengecewakan Adit. Terbukti Adit yang selalu bahagia dan sangat jarang bersedih seperti dirinya.
“Nggak nggak!!! Kamu ngapain mau pindah Agama bila sebenarnya Tuhan kita sama. Hanya saja cara kita yang berbeda,” jelas Adit lebih halus. Adit paham, berbicara dengan Yani tidak bisa sekeras ia berbicara pada teman-temannya. Yani terlalu banyak mendapatkan kecewa dan rasa sakit yang beruntun. Yani masih menanyakan keberadaan Tuhannya.
“Terserahlah. Aku males bahas ini.”
Dan percakapan itu akan berakhir dengan Yani yang masih keras kepala untuk keluar dari agamanya dan Adit yang setia memberi pengertian agar Yani mencari jati diri.
“Gimana kalo kamu coba ikutan majelis gitu?” usul Adit saat mereka berdua tengah berada di salah satu toko buku dekat Gereja Merah. Setelah selesai Ibadah, Adit segera  mengajak Yani ke toko Buku untuk mencari beberapa novel keluaran baru. Untunglah mereka memiliki hobi yang sama.
“Majelis? Kamu tahu darimana hal-hal seperti itu? Jujur, aku saja nggak pernah tahu hal gituan,” jawab Yani sambil membaca blurb dari novel yang ia pegang. Kisah klise namun tetap berhasil membuat Yani penasaran. Aku harus beli novel ini, batin Yani.
“Yah, aku tahu dari temen aku saja. Katanya nanti bakal ada majelis rutin gitu. Mungkin kamu harus dateng dan cari jati diri kamu. Kalo kamu seperti ini, lama kelamaan kamu seperti atheis.”
Adit diam, ia sadar ia salah bicara. Sedangkan Yani memandang Adit sengit. Atheis? Yani pernah berpikir bahwa ia seperti itu. Ia berdosa besar karena ia seperti Atheis. Akan tetapi, siapa yang menyebabkan ia menjadi Atheis? Tuhan yang tak mau mengabulkan doanya.
“Jika—jika Tuhan setidaknya mengabulkan satu saja doaku, aku pasti percaya bahwa Tuhan memang ada dan selalu membantuku. Akan tetapi, Tuhan seakan menulikan pendengarannya dari doa-doa yang dulu aku lantunkan. Tuhan ambil Kakekku, kedua orang tuaku, bahkan semua adikku tanpa sisa. Tuhan biarkan aku sendiri dan menjalani kerasnya dunia ini sendirian,” jelas Yani yang tanpa disadari telah terisak pelan. Tetesan air matanya seakan bukti atas segala kekecewaannya selama ini.
Dulu, ia tidak seperti ini. Ia sama dengan wanita lainnya yang selalu runtin melakukan Ibadah seperti yang diwajibkan Agamanya. Shalat, Mengaji, Bahkan Berpuasa. Yani ingat, seminggu lagi sudah memasuki Bulan Ramadhan. Tapi siapa peduli? seperti biasanya, Yani tidak akan berpuasa. Ia hanya menatap orang-orang yang berpuasa dan hilir mudik teraweh setelahnya.
“Yani, lihat aku!” Adit memegang kedua bahu Yani agar mereka bisa saling tatap. Memberikan tatapan yang dapat menyalurkan segala ketegaan, cinta, dan rasa iba. Adit bertekad untuk membantu Yani untuk menemukan lagi kepercayaannya meskipun harus merelakan hubungan mereka.
“Cobalah cari jati diri dan agamamu. Kamu tahu kan kalo aku cinta sama kamu dan aku ingin kamu bahagia?”
Yani mengangguk sebagai jawabannya.
“dan agama kita melarang dua keyakinan menjadi satu,” lanjut Adit pelan. Yani menyentak tangan Adit dikedua bahunya.
“Lihat! Lihat ini! Karena Agamaku kita harus pisah, iya kan?” tuntut Yani marah. Wajahnya suda memerah dengan gigi yang bergemelatuk menahan semua pergejolakan emosi di dalam  dadanya. Yani mengepalkan tangannya erat, emosninya kali ini memuncak. Hubungan dengan Adit bukanlah hubungan main-main.
“Kamu mutusin aku?”
“Bukan gitu. Aku Cuma mau kamu percaya sama Tuhanmu dan… yahhh gitu,” balas Adit yang juga kehilangan kata-katanya. Sudah lama Adit meminta perpisahan ini karena Adit tahu, Yani memanfaatkan kebersamaan mereka agar Yani bisa pindah agama. Dan Adit tidak mau hal itu terjadi.
Yani tak mau mendengar alasan-alasan basi lagi. Rasanya sudah cukup semua orang mendesaknya untuk percaya akan Tuhan. Jika memang semesta mengingikan ia berpisah dengan Adit, baiklah ia akan lakukan.
Hari-hari yang sepi. Hanya aka nada kesendirian yang menemaninya belakangan ini. Hingga Hikmah datang, wanita yang menjadi teman baiknya saat masih sekolah dahulu. Wanita yang baru saja pulang dari Pondok Pesantren Nurul Jadid. Wanita berhijab dengan pakaiannya yang sangat tertutup. Hikmah meminta izin untuk menginap di rumahnya lantaran kedua orang tuanya sedang menginap rumah saudara untuk beberapa hari ke depan. Keberadaan Hikmah jelas mengusik ketenangan Yani. Bukan karena Hikmah cerewat dan berisik. Akan tetapi rutinitas Hikmah dalam menjalankan ibadahnya benar-benar membuat perasaannya resah dan bergetar secara bersamaan.
Pernah di beberapa waktu, Yani iseng bertanya pada Hikmah yang baru melepas mukenahnya.
“Kamu selalu menjalankan ibadah kepada Allah, apakah Allah selalu membuatmu bahagia dan mengabulkan doamu?”
“Beribadah bukan perihal meminta dan memberi atau bertanya dan jawab. Ibadah adalah kewajiban setiap umat beragama. Di dalam ibadah, kita memang selalu meminta dan berdoa. Kita beribadah karena kita memang butuh bantuan Allah dan bukan malah sebaliknya. Bila kamu bertanya apa aku selalu bahagia? Coba kamu lihat aku ….,” Hikmah menampilkan senyum paling indahnya sebelum melanjutkan penjelasannya, “Kadang kita tak butuh bahagia. Kita perlu luka dan kesedihan. Karena dengan kesedihan tersebut kita akan lebih memahami arti dari bahagia. Dan Tuhan memberikan semuanya dengan sangat setara. Allah tak akan memberikan musibah tanpa membalasnya dengan kebahagiaan. Membalas air matamu dengan seulas senyum syukur. Lantas, mengapa masih kau ragukan keberadaan Allah? Tidakkah kau rindu?”
Yani menggeleng pelan. sedikit tidaknya ia paham dengan apa yang dijelaskan oleh Hikmah. Ia sebenarnya juga mulai merindukan debaran halus di dadanya saat menyebut asma-Nya. Akan tetapi bagaimana dengan lukanya? Apakah ia bisa menyembuhkan luka yang teramat dalam dan perih ini?
Hari pertama Ramdhan telah tiba. Setelah berbuka puasa, Hikmah mengajak –lebih tepatnya menggeret- Yani ke Mushola untuk mengikuti Taraweh bersama. keberadaan Hikmah benar-benar sangat mempengaruhi kehidupan Yani. Bahkan peran wanita itu malam ini tak akan pernah ia duga, tak akan terlupakan.
Entah hanya Musholla ini saja atau juga Musholla yang lain, saat Yani akan beranjak pergi, Hikmah menahannya dan berkata untuk mendengarkan ceramah singkat di Malam Pertama Ramadhan.
“Bagi orang yang melaksanakan puasa ada dua kebahagiaan; kebahagiaan ketika berbuka, dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Rabbnya. Dengan iman dan amal shaleh, Insya Allah kita akan berbahagia saat bertemu dengan Allah pada hari kebangkitan. Mengetahui kia telah menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, salah satunya dengan berpuasa –ibadah yang cukup berat- maka balasannya pun tak main-main; Surga-Nya.”
“Cobalah berpuasa dan dekati Allah, insyaallah, lukamu akan cepat sembuh. Kekecewaan yang akan terganti dengan kebahagiaan. Buang semua sifat angkuhmu, dan tundukkan kepalamu pada-Nya, yang Maha Pemberi Rasa,” bibik Hikmah di sela-sela mendengarkan ceramahnya.
Yani menengadahkan kepalanya. Menghalau kabut-kabut yang tergenang di pelupuk matanya. Ya Allah aku rindu padamu. Rindu pada sujud-sujudku tiap waktu. Izinkan aku berpuasa dan mendekati-Mu, batin Yani dengan segala kepasrahannya untuk berserah diri.
­Selesai.
By : Yani
Ditulis sebagai syarat rekrutmen FLP Probolinggo
1 Comments

Hhehe tulisanku yang masih acakadut banget